Gara-gara ngebaca tulisan ci Ine tentang Rachel di sini, aku tiba-tiba teringat ama kejadian beberapa waktu yang lalu.
Blackberry sedang booming, banyak orang lagi rame-rame beli blackberry, bahkan ada yang sampe punya dua, dari para eksekutip, orang-orang business yang dikejar email-email penting untuk businessnya, remaja-remaja yang dikejar email gak jelas seberapa penting sampe ke ibu-ibu rumah tangga yang untuk apa aku gak paham.
Barangkali cuma aku yang gak tertarik ama benda yang bernama blackberry itu (kalo blueberry gak nolak, hahaha ….) karena email/ngenet bisa nunggu sampe di rumah, kalo udah nyantai banget, kalo udah keluar rumah, forget email dan semua urusan ngenet.
Gak ada yang salah dari memiliki satu/dua buah blackberry, semua orang berhak menentukan pilihan yang terbaik buat kepentingannya masing-masing, hanya gara-gara blackberry ini, keponakanku Deo (7 thn) yang bertanya pada anakku setelah menerima angpauw Imlek bulan lalu.
Deo : “Ko, berapa sih harga handphone?”
Koko : “Macem-macem Deo, ada yang mahal, ada yang murah.”
Deo : “Yang murah berapa, yang mahal berapa?”
Koko : “Yang murah Rp 500 ribu dan yang mahal bisa Rp 9 jutaan.”
Deo : “Oh pantes, duit papa tinggal Rp 50 ribu, dibeliin blackberry buat mama sih.”
Keesokan hari, di rumahnya, aku lihat Deo masuk ke kamar, ngambil dompet sambil mendekat ke papanya, dia keluarkan sebagian besar uang hasil angpauw yang diterimanya, diberikan kepada papanya dan menyisakan sedikit buat dia sendiri, aku beri kode ke papanya untuk sementara menerimanya dulu, aku pikir ini baik untuk melatihnya menjadi anak yang tahu membagi.
Aku takjub menyaksikan pemandangan itu, semoga Deo tumbuh menjadi orang yang tau berempati terhadap sesamanya. Amin.